Makalah Diferensiasi Unsur Unsur Budaya Suku Batak
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami hantarkan
pada kehadirat Tuhan,Allah yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
ini.Dalam pembuatan makalah ini, banyak kesulitan yang kami alami terutama
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Namun berkat bimbingan dan bantuan dari
semua pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Oleh karena itu, kami mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini, khususnya kepada Ibu Guru Kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah yang kami
buat ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran agar makalah ini menjadi lebih baik serta berdaya guna dimasa
yang akan datang.
Pacitan,
19 Februari 2015
Tim Penyusun
LEMBAR
PENGESAHAN
Makalah tugas
sosiologi semester II dengan judul :
Makalah 7 Unsur Kebudayaan Suku Bangsa Batak
Oleh :
Kelompok 1 Kelas
XI IPS 2
·
·
·
·
·
Telah
diperiksa dan di setuju keseluruhan isinya sebagai salah satu pemenuhan tugas
semester II dalam mata pelajaran sosiologi.
Pacitan, 13 februari 2015
Menyetujui
Kepala sekolah
Suyatno, spd
Guru pembimbing
Wali Kelas
Dra. Winarti Wiji martono, Spd
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah
Sumatra Utara memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat
istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah.Masyarakatnya terdiri atas
beberapa suku, seperti Melayu, Nias, Batak Toba, Pakpak, Karo, Simalungun,
Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan (meliputi Sipirok, Angkola, Padang Bolak, dan
Mandailing), serta penduduk pendatang seperti Minang, Jawa dan Aceh yang
membawa budaya serta adat-istiadatnya sendiri-sendiri.
Daerah
ini memiliki potensi yang cukup baik dalam sektor pariwisata, baik wisata alam,
budaya, maupun sejarah.Sumatera Utara adalah daerah yang pantas untuk
diperhitungkan sebagai tujuan wisata, mulai dari wisata alam yang memiliki
panorama yang indah, wisata kuliner sampai dengan wisata sejarah yang memiliki berbagai
situs yang tersebar diwilayah Sumatera Utara.
Semua
etnis memiliki nilai budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat, tari
daerah, jenis makanan, budaya dan pakaian adat juga memiliki bahasa daerah
masing-masing. Keragaman budaya ini sangat mendukung dalam pasar pariwisata di
Sumater Utara. Walaupun begitu banyak etnis budaya di Sumatera Utara tidak
membuat perbedaan antar etnis dalam bermasyarakat karena tiap etnis dapat
berbaur satu sama lain dengan memupuk kebersamaan yang baik. kalau di lihat
dari berbagai daerah bahwa hanya Sumatera Utara yang memiliki penduduk dengan
berbagai etnis yang berbeda dan ini tentunya sangat memiliki nilai positif
terhadap daerah sumatera utara.
1.2
Rumusan Masalah
· Bagaimana perkembangan sistem
pengetahuan dan teknologi yang di gunakan oleh masyarakat batak ?
· Bagaimana perkembangan bahasa yang di
gunakan masyarakat dalam kehidupan sehari hari ?
· Apa saja organisasi sosial yang
dimilki masyarakat batak ?
· Bagaiamana perkembangan sistem mata
pencaharian pada masyarakat batak ?
· Bagaimana perkembangan sistem
peralatan hidup yang dimilki masyarakt batak ?
· Bagaimana perkembangan kesenian
masyarakat batak ?
· Bagaimana perkembangan religi atau
agama yang dianut oleh masyarakat batak
?
1.3
Tujuan / Manfaat kepenulisan
· Untuk mengatahui tujuh unsur
kebudayaan masyarakat batak secara mendalam.
· Untuk memenuhi tugas yang di berikan
oleh guru pembimbing kami.
· Untuk membantu menambah pengetahuan
masyarakat luas tentang suku bangsa batak.
BAB
II
Diferensiasi
Sosial Suku Bangsa Batak
2.1 Sejarah Suku
Bangsa Batak
Orang
Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek
moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur.Bahasa
dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan
bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina danIndonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di
zaman batu muda (Neolitikum).Karena
hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di
wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke
Sumatera Utara di zaman logam.
Pada abad ke-6,
pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka
berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur
Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas
ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya
pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera.Pada masa-masa berikutnya,
perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau
yang mendirikan koloni di
pesisir barat dan timur Sumatera Utara.
Koloni-koloni mereka terbentang dari
Barus, Sorkam, hingga Natal. Batak merupakan salah satu suku bangsa di
Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan
beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera
Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah:
Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan
Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama
Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim
dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu),
walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
2.2 Identitas Suku
Bangsa Batak
·
Mengatakan,
bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis
sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi
sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar
kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk
menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.
·
Pendapat
lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar
Batak baru terjadi pada zaman kolonial.
·
Dalam
disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah " Tanah Batak " dan " Rakyat Batak " diciptakan
oleh pihak asing.
·
Sebaliknya, Siti Omas Manurung seorang istri dari putra pendeta Batak Toba
menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda
semua orang baik Karomaupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak dan
Belanda-lah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut.
Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat " kelahiran "
bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek
moyang orang Batak berasal dari Samosir.Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun
dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi
keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra.
Penelitian penting tentang tradisi
Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah
setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka
Ginting.
Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan
juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya
nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa
Tamil. Orang-orang Tamil yang
menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan
pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
2.3 Geografi dan
Demografi Suku Batak
Tano Batak (Tanah Batak) meliputi daerah
seluas kurang lebih 50.000 km² berpusat di Tao
Toba (Danau Toba). Terbentang dari wilayah pegunungan Bukit Barisan di sisi
sebelah barat Propinsi Sumatera Utara hingga pantai pesisir di sebelah timur.
Sebagian besar Tano Batak merupakan daerah dataran tinggi yang mengelilingi
Danau Toba berilkim sejuk sepanjang tahun , yaitu daerah Batak Karo, Batak
Pakpak dan Batak Simalungun di sebelah utara danau serta daerah Batak Toba,
Batak Angkola dan Batak Mandailing di bagian selatan. Pembagian daerah ini
berdasarkan persebaran masing-masing sub suku Batak yang menempati wilayah Tano
Batak. Hingga saat ini pembagian daerah pemukiman masyarakat batak tersebut
diatas juga digunakan sebagai dasar pembagian daerah administratif yaitu
setingkat kabupaten.
Daerah Tano Batak berbatasan dengan Propinsi
Aceh di sebelah utara. Di sebelah barat berbatasan dengan daerah kepulauan Nias
dan di sebelah timur berbatasan dengan daerah kediaman masyarakat mayoritas
melayu yaitu wilayah Medan dan Deli. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan
dengan daerah Sumatera Barat.
Danau Toba sebagai simpul pemersatu Tano
Toba berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut. Danau Toba terbentuk
dari bekas kawah letusan gunung berapi yang kemudian dipenuhi oleh air. Danau
Toba adalah salah satu kebanggaan masyarakat Batak sebagai danau terbesar di
kawasan Asia Tenggara dengan pemandangannya yang menawan di sekitar danau.
Terdapat sebuah pulau di tengah-tengah Danau Toba yang dinamakan Pulau Samosir
(menurut sejarah sesungguhnya dahulu tidak benar-benar terpisah dengan dataran
disekeliling Danau Toba artinya tidak benar-benar sebuah pulau).
Masyarakat yang menamakan dirinya Bangso
Batak ini meliputi sekitar + 6 juta populasi (sensus tahun 2000, hmmm sudah
lama juga ya tidak ada sensus lagi), terdiri dari 6 sub suku Batak yaitu Batak
Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Angkola dan Batak
Mandailing. Kumpulan masyarakat ini disatukan oleh kesamaan dalam hal bahasa,
adat istiadat dan juga kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang
yang sama yaitu si Raja Batak. Mata pencaharian sebagai petani baik petani
sawah dan ladang merupakan mata pencaharian utama mereka disamping mata
pencaharian lainnya seperti pedagang, tenaga pengajar, pelaku seni, dlsb. Agama
yang dianut oleh masyarakat Batak adalah Kristen, Islam, Hindu dan Budha serta
aliran kepercayaan yang masih tetap dianut oleh sebagian kecil masyarakat
hingga saat ini.
3
Masyarakat Batak merupakan masyarakat
perantau yang diwarisi dengan sifat pekerja keras, berani, jujur dan pantang
menyerah. Keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik selalu
ditanamkan kepada generasi muda sehingga demi mencapai impian, seorang pemuda
atau pemudi batak harus bersedia meninggalkan kampung halaman tercinta untuk
merantau ke negeri/daerah orang yang jauh. Akan tetapi kerinduan akan kampung
halaman masih akan selalu melekat di hati. Tak heran saat ini banyak orang
Batak yang berhasil dan sukses tersebar di seluruh penjuru dunia.
2.4 Unsur Unsur
Kebudyaan Suku Bangsa Batak
A.
Sistem Pengetahuan Dan Teknologi
Orang
Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam
bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan.Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama
mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran.Raron itu
merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri
tergantung kepada persetujuan pesertanya.
Selain itu juga terdapat hirarki pembentukan
sebuah kampung atau huta yang dimulai dari kelompok terkecil yaitu klan
keluarga, huta, kemudian bius sebagai kelompok yang terbesar. Orang Batak memiliki kegemaran dan keahlian
mengukir sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh bentuk
peninggalan perhiasan yang ditemukan oleh para ahli. Material yang diukir
adalah kayu dan juga logam. Perhiasan tersebut biasanya digunakan oleh para
tetua atau keluarga pemimpin.
Peninggalan perhiasan seperti ini juga dapat
menunjukkan tingginya kemampuan teknologi yang telah berkembang pada masa itu.
Selain perhiasan, masyarakat orang Batak juga menggunakan ukiran dari kayu yang
disebut sebagai Gorga. Masing-masing gorga memiliki nama dan makna tersendiri
serta bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini mengikuti aturan-aturan tertentu
yang telah ada sejak lama. Aturan tersebut menyangkut ketepatan pemaknaan dan
penggunaan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Hingga sekarang orang Batak
juga masih tetap menekuni kegemaran mengukir seperti ini namun jumlah peminat
dan yang memiliki keahlian untuk mengukir sudah sangat terbatas jumlahnya.
B.
Bahasa
Dalam, kehidupan dan pergaulan
sehari-hari, orang batak menggunakan beberapa logat, ialah : logat karo
(yang dipakai oleh orang Karo), logat pakpak (yang dipakai oleh Pakpak), logat
simalungun (yang dipakai oleh Simalungun), logat toba ( Yang dipakai oleh orang
Toba, Angkola dan Mandailing).
Orang Batak adalah salah satu suku
dari sedikit suku di Indonesia yang memiliki aksara sendiri yaitu aksara Batak.
Walaupun masing-masing sub suku Batak juga memiliki jenis huruf yang
berbeda-beda akan tetapi kemiripan masing-masing huruf tersebut masih dapat
dimengerti oleh masing-masing sub suku lainnya. Bahasa yang digunakan oleh
masyarakat Batak juga mememiliki kemiripan antara satu sub suku dengan sub suku
lainnya.
Sehingga tidak mengherankan apabila
satu orang Batak dapat menguasai beberapa jenis bahasa Batak sekaligus. Dari
struktur penyusunan dan pengucapan bahasa, terdapat 2 kelompok utama :
·
Bahasa Toba serta logat
Angkola dan Mandailing yang serumpun (kelompok bahasa selatan).
·
Bahasa Karo, bersama
logat Dairi dan Pakpak yang serumpun (kelompok bahasa utara).
Sedangkan bahasa yang dipakai di
Simalungun merupakan perpaduan kedua kelompok bahasa tersebut di atas. Dari
keenam sub suku yang ada bahasa Batak Toba adalah bahasa yang paling banyak
digunakan. Dalam beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa bahasa maupun
tulisan aksara Batak banyak mendapat pengaruh dari India yaitu bahasa
Sanskerta. Pengaruh tersebut diyakini masuk melalui kebudayaan Hindu Jawa atau
Hindu Sumatera. Sebagai contoh dalam bahasa Batak Toba, purba diartikan sebagai
arah mata angin utara demikian halnya dalam bahasa sansekerta India. Entah
dimana letak kebenarannya, apakah orang Batak adalah penerus dari orang India
yang bermigarasi ke Tano Toba atau sebaliknya, saat ini belum ada kesimpulan yang
pasti untuk itu.
Dalam bidang sastra, dapat ditemukan
beberapa jenis hasil karya sastra yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba,
diantaranya adalah mitos, sajak, mantera-mantera, doa dukun
(tonggo-tonggo),pantun nasihat/umpasa-umpasa, senandung/ andung-andung serta
teka-taki/huling-hulingan atau hutinsa serta beragam turi-turian/ cerita
rakyat. Dari sekian banyak mitos dan turi-turian/ cerita rakyat yang berkembang
di masyarakat, kisah yang paling banyak dikenal adalah kisah penciptaan manusia
pertama yang diyakini berasal dari turunan Debata Mulajadi Na Bolon. Dikisahkan
Debata Mulajadi Na Bolon adalah dewa tertinggi dalam mitologi Batak.
Karena dalam dialek Batak tidak
mengenal huruf c, y, dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama
Carles dipanggil Sarles, hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit.Dari
pengamatan penulis, setiap kata atau istilah Sansekerta yang memiliki huruf w,
kalau masuk ke dalam Bahasa Batak akan diganti menjadi huruf b, atau huruf yang
lain.
· Istilah-istilah Sansekerta
yang diserap dalam bahasa Batak:
®
Purwa ;
Prba ; Timur Wajawia ;
Manabia ; Barat Laut
®
Wamsa ; Bangso
; Bangsa Pratiwi ; Portibi ;
Pertiwi
®
Swara ; Soara ; Suara Swarga ; Surgo ; Surga
®
Tiwra ; Simbora ;
Perak
·
Salam Khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing
masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua
salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing- masing
berdasarkan puak yang menggunakannya. Berikut ini beberapa contoh salam khas
Batak:
®
Pakpak : “Njuah-juah Mo Banta Karina !”
®
Karo
:
“Mejuah-juah Kita Krina !”
®
Toba :
“Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna !”
®
Simalungun :
“Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona !”
®
Mandailing
dan Angkola : “Horas Tondi Madingin Pir
Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung !”
C.
Organisasi Sosial
Suku Batak diikat oleh kelompok
kekerabatan yang mereka sebut sebagai marga. Adapun kegiatan menelusuri
silsilah garis keturunan marga disebut dengan istilah tarombo. Salah satu
sub suku Batak yang masih menjaga tradisi marga dan tarombo hingga kini adalah
Batak Toba. Suku ini tersebar di empat wilayah Tapanuli, Sumatera Utara, yaitu
Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang. Marga Batak Toba adalah marga pada Suku
Batak Toba yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di
Kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Laguboti, dan
sekitarnya.
·
Kamus Besar Bahasa Indonesia
terbitan Balai Pustaka tahun 2005,
halaman 716, mengartikan marga sebagai kelompok kekerabatan yang eksogam dan
unlinear, baik secara matrilineal (perempuan) maupun patrilineal (laki-laki).
Adapun masyarakat umum Batak mengartikan marga sebagai kelompok suku dan suku
induk.
·
Menurut Vergouwen (1986),
jika melihat realitas yang terjadi di masyarakat Batak Toba sekarang, arti ini
terlihat tidak sesuai dengan realitasnya karena bagi orang Batak Toba, marga
juga dimaksudkan untuk menunjukkan satuan suku-suku yang lebih kecil dan
kelompok yang lebih besar. Hal ini juga disebabkan oleh alur pokok dari
struktur silsilah (tarombo) Batak Toba yang beragam.
Orang Batak Toba hingga kini
masih meyakini bahwa marga dan tarombo
penting untuk dicari dan diperjelas karena seluruh orang Batak meyakini bahwa
mereka adalah Dongan-Sabutuha. Dongan-Sabutuha berarti mereka yang berasal dari
rahim yang sama” (Vergouwen, 1986: 1). Hal ini diperkuat juga dengan peribahasa
Batak yang berbunyi Tinitip sanggar bahen huru-huruan/Djolo sinungkun marga asa
binoto partuturan. Arti peribahasa ini adalah “untuk membuat sangkar burung,
orang harus memotong gelagah. Untuk tahu hubungan kekerabatannya orang harus
menanyakan marga”.
Keyakinan bahwa orang Batak Toba berasal dari rahim yang sama ini (satu
marga dan tarombo) disebabkan oleh penetapan struktur garis keturunan mereka yang
menganut garis keturunan laki-laki (patrilineal) yang berarti bahwa garis marga
dan tarombo orang Batak Toba dteruskan oleh anak laki-laki.
Jika orang Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki, maka marga dan
tarombo-nya akan punah. Adapun posisi anak perempuan atau perempuan Batak Toba
adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus kawin dengan
laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.
Orang Batak menganut falsafah
kekeluargaan dan kekerabatan yang disebut dengan Tungku nan Tiga (tungku tiga
kaki). Dalam bahasa Batak Toba, falsafah ini disebut Dalihan
na Tolu (tungku posisi duduk). Falsafah ini mengajarkan kepada orang
Batak Toba bahwa sejak lahir hingga meninggal kelak, orang Batak Toba harus
jelas struktur hubungan kekeluargaan dan kekerabatannya.
Falsafah Dalihan Na Tolu berisi tiga
kedudukan penting orang Batak Toba dalam kekerabatan, yaitu Hula-hula atau
Tondong, Dongan Tubu atau Sanina, dan Boru.
o
Hula-hula atau Tondong
adalah kelompok yang menempati posisi paling atas, yaitu posisi yang harus
dihormati oleh seluruh orang Batak Toba. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok
ini adalah pihak keluarga dari istri yang disebut sebagai Somba Marhula-hula.
o
Dongan Tubu adalah kelompok yang posisinya
sejajar, misalnya teman dan saudara satu marga. Kelompok ini adalah kelompok
yang rentan terhadap perpecahan. Untuk itu, budaya Batak Toba mengenal konsep
Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
o
Boru adalah kelompok yang menempati
posisi bawah, artinya kelompok ini harus selalu dikasihi (Elek Morboru). Adapun
yang termasuk kelompok ini adalah saudara perempuan dari marga suami dan dari
pihak ayah.
Dalihan Na Tolu tidak mirip dengan
konsep kasta dalam agama Hindu. Perbedaannya terdapat pada ketetapan setiap
posisi dalam sistem ini. Posisi masing-masing kasta dalam sistem kasta Hindu
tidak dapat berubah. Sebagai contoh, jika seseorang lahir dalam posisi kasta
Brahmana, maka demikian posisi seterusnya hingga dia meninggal kelak. Kasta
Brahmana tersebut tidak dapat berubah menjadi Sudra misalnya.
Sementara itu, posisi Dalihan Na tolu
sangat bergantung pada konteksnya (berubah-ubah). Semua anggota masyarakat
Batak Toba suatu ketika pasti akan mengalami menjadi Hulahula, Dongan Tubu,
atau Boru. Sebagai contoh, salah satu anggota keluarga dari istri seorang
bupati bisa jadi hanya menjabat sebagai camat, namun dalam sebuah upacara adat,
si bupati tersebut harus mau mencuci piring untuk melayani keluarga istrinya
karena keluarga istri masuk dalam kelompok atas (Hula-hula) dan si bupati masuk
dalam posisi bawah (boru).
Semua orang Batak harus berperilaku
seakan-akan sebagai “ Raja ” berdasarkan falsafah kekerabatan di atas. Artinya,
dalam struktur tata kekerabatan Batak Toba
orang harus berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem
kekerabatan Batak, bukan raja sebagai orang yang berkuasa. Maka dari itu, dalam
setiap pembicaraan adat, sering terdengar sebutan Raja ni Hulahula, Raja ni
Dongan Tubu, atau Raja ni Boru. Selain itu, penyebutan ini dimaksudkan untuk
menghormati setiap posisi dalam Dalihan Na Tolu (semua orang Batak Toba
dianggap sederajat).
D.Mata Pencaharian
Ilustrasi Pedagang Di Pasar
Sebagian besar masyarakat Batak Toba
saat ini bermata pencaharian sebagai petani, pedang, nelayan, pegawai,
wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang
banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha
penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga
yang memulai merambah ke bidang usaha jasa. Masyarakat tradisional Batak Toba
bercocok tanam padi di sawah dan juga mengolah ladang secara berpindah-pindah.
Pengelolaan tanaman padi di sawah
banyak terdapat di daerah selatan Danau Toba.Hal ini disebabkan oleh daerah
tersebut adalah dataran yang landai dan terbuka sehingga memungkinkan untuk
bercocok tanam padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah utara
(Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup
serta berupa dataran tinggi yang sejik sehingga mengakibatkan lahan ini lebih
memungkinkan untuk pengolahan ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai
peghasil sayuran dan buah yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif
yang dihasilkan oleh keberadaan bentuk lahan tersebut.
Sebelum teknologi pengolahan pangan
mencapai daerah tano Batak, hasil pengolahan tanaman padi di sawah hanya dapat
menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini disebabkan oleh
pengolahan tanah yang tidak begitu baik, irigasi yang terbatas dan juga tanpa
penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya dengan hasil pengolahan
tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan panen satu hingga dua kali saja
lalu kemudaian lahan tidak dapat digunakan lagi. Kemudian ladang tersebut akan
ditinggalkan dan berpindah ke ladang yang baru. Ada pula beberapa komoditi
unggulan yang menjadi kelebihan suatu daerah. Seperti hasil panen utama dari daerah Simalungun dan Mandailing
adalah jagung dan ubi kayu, serta beragam sayuran. Dari daerah
Pakpak yang menjadi komoditi unggulannya adalah kemenyan dan kapur barus.
Bayangkan betapa kayanya tano Batak ini.Saat ini masyarakat Batak sudah banyak
yang mengolah padi hibrida di sawah mereka, tentunya orang Batak tidak mau
ketinggalan dari yang lainnya.
E.Peralatan Hidup
Masyarakat Batak telah
mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untuk bercocok
tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam
bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi)
atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso
surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah
keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis
pedang panjang).Peralatan hidup lainnya yaitu kain ulos yang
merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.
F. Kesenian
Orang Batak
dikenal dengan sebagai masyarakat pecinta seni dan musik. Hampir semua sub suku
memiliki jenis kesenian yang unik dan berbeda dari sub suku lainnya. Kesenian
orang Batak Toba sendiri cukup beragam mulai dari tarian, alat musik dan
jenis-jenis nyanian.
Ulos adalah kain tenun khas Batak
berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan
persatuan, sesuai dengan pepatah Batak
yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang
artinya jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah
pengikat kasih sayang antara sesama.Secara harfiah, ulos berarti selimut yang
menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut
kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada
manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut
ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Beberapa jenis ulos yang dikenal dalam
adat Batak adalah sebagai berikut:
Ulos Ragidup
Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti
lambang kehidupan. Dinamakan demikian karena warna, lukisan serta coraknya
memberi kesan seolah-olah ulos ini benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah
yang tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas
tiga bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang
ditenun tersendiri dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap
rumah tangga suku batak di daerah-daerah yang masih kental adat bataknya.
Karena dalam upacara adat perkawinan, ulos ini diberikan oleh orang tua
pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki.
Ulos Ragihotang
Hotang berarti rotan, ulos jenis ini
juga termasuk berkelas tinggi, namun cara pembuatannya tidak serumit ulos
Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai untuk mengafani jenazah atau
untuk membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan kedua kalinya.
Ulos
Sibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada
orang yang berjasa dalam mabolang-bolangi (menghormati) orang tua pengantin
perempuan untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki pada upacara pernikahan adat
batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos
Bela yang berarti ulos menantu kepada pengantin laki-laki.
Dari besar kecil
biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:
Pertama,
Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos
jenis kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai
sehari-hari.
Kedua,
Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan
dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau
diterima.
Biasanya ulos dipakai dengan cara
dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang kebaya, atau diabithon;
dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara dililithon; dililitkan
dikepala atau di pinggang.Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan,
mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu
yang dihormati dan upacara Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan
yang diwariskan nenek moyang.
G.Religi
Kepercayaan Lokal
Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan dan Islam,
mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi
Nabolonyang memiliki kekuasaan di atas
langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata
Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
Tondi :
adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi
memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam
kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan
sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari
sombaon yang menawannya.
Sahala :
adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki
tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta,
tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
Begu :
adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah
laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam
pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun
orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam
di dalam hati sanubari mereka.
Agama
Islam
Masuknya
Islam
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak
sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh
agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta
mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir.Masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum
disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak
pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini
secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat
Batak. Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan
Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas
masyarakat Mandailing dan Angkola.
Namun
penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat
tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kerajaan Aceh di
utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak.
Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di
pesisir Sumatera Timur
Agama Kristen
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist
asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.Setelah
tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua
minggu di pedalaman.Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan
pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak.Pada tahun 1834, kegiatan
ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi
Luar Negeri.
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen.Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Selanjutnya Misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934.
Masyarakat Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka,Sisingamangaraja XII wafat.
Gereja HKBP
Gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917.
Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan
kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) didirikan.
Gereja Katolik di Tanah Batak
Misi Katolik masuk ke Tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selama 73
tahun. Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur
sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut Sybrandus van
Rossum dalam tulisannya berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa pada tahun
1935 orang Batak yang sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang 450.000
orang. Lembaga pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah
mempunyai kader-kader yang tangguh baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan.
Dalam situasi seperti itulah Misi Katolik masuk ke Tanah Batak.
BAB III
Kesimpulan
Batak merupakan salah satu suku
bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk
mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera
Timur, di Sumatera
Utara. Suku bangsa yang dikategorikan
sebagai Batak adalah: Batak
Toba, Batak
Karo, Batak
Pakpak, Batak
Simalungun, Batak
Angkola, dan Batak
Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak
menganut agama Kristen
Protestan,Kristen
Katolik, dan Islam
Sunni. Tetapi ada pula yang menganut
kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaananimisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini
jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Saran dan Kritik
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
kami selaku penyusun makalah ini
sadar makalah yang telah kamiselesaikan ini masih banyak
kekurangan. Jadi, kami mohon kepada Bapak guru untuk memberikan saran
dan kritik yang membangun guna menjadikanmakalah kami ini menjadi
lebih baik
Daftar pustaka
Referensi Utama :
·
Mulyadi,Yad.Departement Pendidikan
dan Kebudayaan.(1999).Antropologi untuk sekolah menengah umum kelas 3 program
ilmu pengetahuan sosial.
Referensi
Tambahan :
· http:
// ragambudayanusantara.blogspot.com
· 1997
Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES Koentjaraningrat
· 1971
Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan Melalatoa, M. Junus
· 1997
Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta
Thank you kak sangat membantu
BalasHapus