Rabu, 22 April 2015

Makalah Diferensiasi Unsur Unsur Budaya Suku Batak



Makalah Diferensiasi Unsur Unsur Budaya Suku Batak





KATA PENGANTAR

                                                                                                                               
    



                Puji dan syukur kami hantarkan pada kehadirat Tuhan,Allah yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini.Dalam pembuatan makalah ini, banyak kesulitan yang kami alami terutama disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Namun berkat bimbingan dan bantuan dari semua pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

      Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada Ibu Guru Kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah yang kami buat ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini menjadi lebih baik serta berdaya guna dimasa yang akan datang.









                                                                                              Pacitan, 19 Februari 2015





                                                                                Tim Penyusun








LEMBAR PENGESAHAN
Makalah tugas sosiologi semester II dengan judul :
Makalah 7 Unsur Kebudayaan Suku Bangsa Batak
Oleh :
Kelompok 1 Kelas XI IPS 2

·  

 · 

 · 
Telah diperiksa dan di setuju keseluruhan isinya sebagai salah satu pemenuhan tugas semester II dalam mata pelajaran sosiologi.

Pacitan, 13 februari 2015
Menyetujui


Kepala sekolah


Suyatno, spd


           Guru pembimbing                                                                    Wali Kelas
                                                                                                                                                                                                                                                                            
             Dra. Winarti                                          Wiji martono, Spd



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

         Daerah Sumatra Utara memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah.Masyarakatnya terdiri atas beberapa suku, seperti Melayu, Nias, Batak Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan (meliputi Sipirok, Angkola, Padang Bolak, dan Mandailing), serta penduduk pendatang seperti Minang, Jawa dan Aceh yang membawa budaya serta adat-istiadatnya sendiri-sendiri.
        Daerah ini memiliki potensi yang cukup baik dalam sektor pariwisata, baik wisata alam, budaya, maupun sejarah.Sumatera Utara adalah daerah yang pantas untuk diperhitungkan sebagai tujuan wisata, mulai dari wisata alam yang memiliki panorama yang indah, wisata kuliner sampai dengan wisata sejarah yang memiliki berbagai situs yang tersebar diwilayah Sumatera Utara.
         Semua etnis memiliki nilai budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat, tari daerah, jenis makanan, budaya dan pakaian adat juga memiliki bahasa daerah masing-masing. Keragaman budaya ini sangat mendukung dalam pasar pariwisata di Sumater Utara. Walaupun begitu banyak etnis budaya di Sumatera Utara tidak membuat perbedaan antar etnis dalam bermasyarakat karena tiap etnis dapat berbaur satu sama lain dengan memupuk kebersamaan yang baik. kalau di lihat dari berbagai daerah bahwa hanya Sumatera Utara yang memiliki penduduk dengan berbagai etnis yang berbeda dan ini tentunya sangat memiliki nilai positif terhadap daerah sumatera utara.

1.2  Rumusan Masalah

·      Bagaimana perkembangan sistem pengetahuan dan teknologi yang di gunakan oleh masyarakat batak ?
·      Bagaimana perkembangan bahasa yang di gunakan masyarakat dalam kehidupan sehari hari ?
·      Apa saja organisasi sosial yang dimilki masyarakat batak ?
·      Bagaiamana perkembangan sistem mata pencaharian pada masyarakat batak ?
·      Bagaimana perkembangan sistem peralatan hidup yang dimilki masyarakt batak ?
·      Bagaimana perkembangan kesenian masyarakat batak ?
·      Bagaimana perkembangan religi atau agama yang dianut oleh masyarakat batak  ?

1.3  Tujuan / Manfaat kepenulisan

·      Untuk mengatahui tujuh unsur kebudayaan masyarakat batak secara mendalam.
·      Untuk memenuhi tugas yang di berikan oleh guru pembimbing kami.
·      Untuk membantu menambah pengetahuan masyarakat luas tentang suku bangsa batak.


BAB II
Diferensiasi Sosial Suku Bangsa Batak

2.1   Sejarah Suku Bangsa Batak


        Orang  Batak  adalah  penutur  bahasa Austronesia  namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur.Bahasa dan bukti-bukti arkeologi  menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina danIndonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum).Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam.

         Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera.Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara.

        Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

    Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

2.2   Identitas Suku Bangsa Batak


·          Menurut   R.W Liddle

·         Mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.

·         Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.

·         Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah " Tanah Batak " dan " Rakyat Batak " diciptakan oleh pihak asing.

·         Sebaliknya, Siti Omas Manurung seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda  semua orang baik Karomaupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak dan Belanda-lah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut.


       Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat " kelahiran " bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra.


           Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh  J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.

2.3   Geografi dan Demografi  Suku Batak

         Tano Batak (Tanah Batak) meliputi daerah seluas kurang lebih 50.000 km² berpusat di Tao Toba (Danau Toba). Terbentang dari wilayah pegunungan Bukit Barisan di sisi sebelah barat Propinsi Sumatera Utara hingga pantai pesisir di sebelah timur. Sebagian besar Tano Batak merupakan daerah dataran tinggi yang mengelilingi Danau Toba berilkim sejuk sepanjang tahun , yaitu daerah Batak Karo, Batak Pakpak dan Batak Simalungun di sebelah utara danau serta daerah Batak Toba, Batak Angkola dan Batak Mandailing di bagian selatan. Pembagian daerah ini berdasarkan persebaran masing-masing sub suku Batak yang menempati wilayah Tano Batak. Hingga saat ini pembagian daerah pemukiman masyarakat batak tersebut diatas juga digunakan sebagai dasar pembagian daerah administratif yaitu setingkat kabupaten.
      Daerah Tano Batak berbatasan dengan Propinsi Aceh di sebelah utara. Di sebelah barat berbatasan dengan daerah kepulauan Nias dan di sebelah timur berbatasan dengan daerah kediaman masyarakat mayoritas melayu yaitu wilayah Medan dan Deli. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan daerah Sumatera Barat.
       Danau Toba sebagai simpul pemersatu Tano Toba berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut. Danau Toba terbentuk dari bekas kawah letusan gunung berapi yang kemudian dipenuhi oleh air. Danau Toba adalah salah satu kebanggaan masyarakat Batak sebagai danau terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan pemandangannya yang menawan di sekitar danau. Terdapat sebuah pulau di tengah-tengah Danau Toba yang dinamakan Pulau Samosir (menurut sejarah sesungguhnya dahulu tidak benar-benar terpisah dengan dataran disekeliling Danau Toba artinya tidak benar-benar sebuah pulau).
       Masyarakat yang menamakan dirinya Bangso Batak ini meliputi sekitar + 6 juta populasi (sensus tahun 2000, hmmm sudah lama juga ya tidak ada sensus lagi), terdiri dari 6 sub suku Batak yaitu Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Kumpulan masyarakat ini disatukan oleh kesamaan dalam hal bahasa, adat istiadat dan juga kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama yaitu si Raja Batak. Mata pencaharian sebagai petani baik petani sawah dan ladang merupakan mata pencaharian utama mereka disamping mata pencaharian lainnya seperti pedagang, tenaga pengajar, pelaku seni, dlsb. Agama yang dianut oleh masyarakat Batak adalah Kristen, Islam, Hindu dan Budha serta aliran kepercayaan yang masih tetap dianut oleh sebagian kecil masyarakat hingga saat ini.
3
       Masyarakat Batak merupakan masyarakat perantau yang diwarisi dengan sifat pekerja keras, berani, jujur dan pantang menyerah. Keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik selalu ditanamkan kepada generasi muda sehingga demi mencapai impian, seorang pemuda atau pemudi batak harus bersedia meninggalkan kampung halaman tercinta untuk merantau ke negeri/daerah orang yang jauh. Akan tetapi kerinduan akan kampung halaman masih akan selalu melekat di hati. Tak heran saat ini banyak orang Batak yang berhasil dan sukses tersebar di seluruh penjuru dunia.

2.4 Unsur Unsur Kebudyaan Suku Bangsa Batak
A.        Sistem Pengetahuan Dan Teknologi

   Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan.Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran.Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.

Selain itu juga terdapat hirarki pembentukan sebuah kampung atau huta yang dimulai dari kelompok terkecil yaitu klan keluarga, huta, kemudian bius sebagai kelompok yang terbesar.  Orang Batak memiliki kegemaran dan keahlian mengukir sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh bentuk peninggalan perhiasan yang ditemukan oleh para ahli. Material yang diukir adalah kayu dan juga logam. Perhiasan tersebut biasanya digunakan oleh para tetua atau keluarga pemimpin.

 Peninggalan perhiasan seperti ini juga dapat menunjukkan tingginya kemampuan teknologi yang telah berkembang pada masa itu. Selain perhiasan, masyarakat orang Batak juga menggunakan ukiran dari kayu yang disebut sebagai Gorga. Masing-masing gorga memiliki nama dan makna tersendiri serta bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang telah ada sejak lama. Aturan tersebut menyangkut ketepatan pemaknaan dan penggunaan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Hingga sekarang orang Batak juga masih tetap menekuni kegemaran mengukir seperti ini namun jumlah peminat dan yang memiliki keahlian untuk mengukir sudah sangat terbatas jumlahnya.

B.        Bahasa

Dalam, kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang batak menggunakan beberapa logat, ialah : logat karo (yang dipakai oleh orang Karo), logat pakpak (yang dipakai oleh Pakpak), logat simalungun (yang dipakai oleh Simalungun), logat toba ( Yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing).


           Orang Batak adalah salah satu suku dari sedikit suku di Indonesia yang memiliki aksara sendiri yaitu aksara Batak. Walaupun masing-masing sub suku Batak juga memiliki jenis huruf yang berbeda-beda akan tetapi kemiripan masing-masing huruf tersebut masih dapat dimengerti oleh masing-masing sub suku lainnya. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Batak juga mememiliki kemiripan antara satu sub suku dengan sub suku lainnya.
         Sehingga tidak mengherankan apabila satu orang Batak dapat menguasai beberapa jenis bahasa Batak sekaligus. Dari struktur penyusunan dan pengucapan bahasa, terdapat 2  kelompok utama :

·         Bahasa Toba serta logat Angkola dan Mandailing yang serumpun (kelompok bahasa selatan).
·         Bahasa Karo, bersama logat Dairi dan Pakpak yang serumpun (kelompok bahasa utara).

         Sedangkan bahasa yang dipakai di Simalungun merupakan perpaduan kedua kelompok bahasa tersebut di atas. Dari keenam sub suku yang ada bahasa Batak Toba adalah bahasa yang paling banyak digunakan. Dalam beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa bahasa maupun tulisan aksara Batak banyak mendapat pengaruh dari India yaitu bahasa Sanskerta. Pengaruh tersebut diyakini masuk melalui kebudayaan Hindu Jawa atau Hindu Sumatera. Sebagai contoh dalam bahasa Batak Toba, purba diartikan sebagai arah mata angin utara demikian halnya dalam bahasa sansekerta India. Entah dimana letak kebenarannya, apakah orang Batak adalah penerus dari orang India yang bermigarasi ke Tano Toba atau sebaliknya, saat ini belum ada kesimpulan yang pasti untuk itu.

        Dalam bidang sastra, dapat ditemukan beberapa jenis hasil karya sastra yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba, diantaranya adalah mitos, sajak, mantera-mantera, doa dukun (tonggo-tonggo),pantun nasihat/umpasa-umpasa, senandung/ andung-andung serta teka-taki/huling-hulingan atau hutinsa serta beragam turi-turian/ cerita rakyat. Dari sekian banyak mitos dan turi-turian/ cerita rakyat yang berkembang di masyarakat, kisah yang paling banyak dikenal adalah kisah penciptaan manusia pertama yang diyakini berasal dari turunan Debata Mulajadi Na Bolon. Dikisahkan Debata Mulajadi Na Bolon adalah dewa tertinggi dalam mitologi Batak.

        Karena dalam dialek Batak tidak mengenal huruf c, y, dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama Carles dipanggil Sarles, hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit.Dari pengamatan penulis, setiap kata atau istilah Sansekerta yang memiliki huruf w, kalau masuk ke dalam Bahasa Batak akan diganti menjadi huruf b, atau huruf yang lain.

·      Istilah-istilah Sansekerta yang  diserap dalam bahasa Batak:

®       Purwa ; Prba ; Timur                         Wajawia ; Manabia ; Barat Laut
®       Wamsa ; Bangso ; Bangsa                 Pratiwi ; Portibi ; Pertiwi
®       Swara ; Soara ; Suara                         Swarga ; Surgo ; Surga
®       Tiwra ; Simbora ; Perak

·      Salam Khas Batak
        Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni  Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing- masing berdasarkan puak yang menggunakannya. Berikut ini beberapa contoh salam khas Batak:

®    Pakpak                            :  “Njuah-juah Mo Banta Karina !”
®    Karo                                : “Mejuah-juah Kita Krina !”
®    Toba                               : “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna !”
®    Simalungun                     : “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona !”
®    Mandailing dan Angkola  : “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung !”

C.        Organisasi Sosial


               Suku Batak diikat oleh kelompok kekerabatan yang mereka sebut sebagai marga. Adapun kegiatan menelusuri silsilah garis keturunan marga disebut dengan istilah tarombo. Salah satu sub suku Batak yang masih menjaga tradisi marga dan tarombo hingga kini adalah Batak Toba. Suku ini tersebar di empat wilayah Tapanuli, Sumatera Utara, yaitu Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang. Marga Batak Toba adalah marga pada Suku Batak Toba yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di Kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Laguboti, dan sekitarnya.

·         Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005, halaman 716, mengartikan marga sebagai kelompok kekerabatan yang eksogam dan unlinear, baik secara matrilineal (perempuan) maupun patrilineal (laki-laki). Adapun masyarakat umum Batak mengartikan marga sebagai kelompok suku dan suku induk.

·         Menurut Vergouwen (1986), jika melihat realitas yang terjadi di masyarakat Batak Toba sekarang, arti ini terlihat tidak sesuai dengan realitasnya karena bagi orang Batak Toba, marga juga dimaksudkan untuk menunjukkan satuan suku-suku yang lebih kecil dan kelompok yang lebih besar. Hal ini juga disebabkan oleh alur pokok dari struktur silsilah (tarombo) Batak Toba yang beragam.

        Orang Batak Toba hingga kini masih meyakini bahwa marga dan  tarombo penting untuk dicari dan diperjelas karena seluruh orang Batak meyakini bahwa mereka adalah Dongan-Sabutuha. Dongan-Sabutuha berarti mereka yang berasal dari rahim yang sama” (Vergouwen, 1986: 1). Hal ini diperkuat juga dengan peribahasa Batak yang berbunyi Tinitip sanggar bahen huru-huruan/Djolo sinungkun marga asa binoto partuturan. Arti peribahasa ini adalah “untuk membuat sangkar burung, orang harus memotong gelagah. Untuk tahu hubungan kekerabatannya orang harus menanyakan marga”.

      Keyakinan bahwa orang Batak Toba berasal dari rahim yang sama ini (satu marga dan tarombo) disebabkan oleh penetapan struktur garis keturunan mereka yang menganut garis keturunan laki-laki (patrilineal) yang berarti bahwa garis marga dan tarombo orang Batak Toba dteruskan oleh anak laki-laki.

    Jika orang Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki, maka marga dan tarombo-nya akan punah. Adapun posisi anak perempuan atau perempuan Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.

       Orang Batak menganut falsafah kekeluargaan dan kekerabatan yang disebut dengan Tungku nan Tiga (tungku tiga kaki). Dalam bahasa Batak Toba, falsafah ini disebut Dalihan na Tolu (tungku posisi duduk). Falsafah ini mengajarkan kepada orang Batak Toba bahwa sejak lahir hingga meninggal kelak, orang Batak Toba harus jelas struktur hubungan kekeluargaan dan kekerabatannya.

           Falsafah Dalihan Na Tolu berisi tiga kedudukan penting orang Batak Toba dalam kekerabatan, yaitu Hula-hula atau Tondong, Dongan Tubu atau Sanina, dan Boru.  

o    Hula-hula atau Tondong adalah kelompok yang menempati posisi paling atas, yaitu posisi yang harus dihormati oleh seluruh orang Batak Toba. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pihak keluarga dari istri yang disebut sebagai Somba Marhula-hula.

o    Dongan Tubu adalah kelompok yang posisinya sejajar, misalnya teman dan saudara satu marga. Kelompok ini adalah kelompok yang rentan terhadap perpecahan. Untuk itu, budaya Batak Toba mengenal konsep Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.

o    Boru adalah kelompok yang menempati posisi bawah, artinya kelompok ini harus selalu dikasihi (Elek Morboru). Adapun yang termasuk kelompok ini adalah saudara perempuan dari marga suami dan dari pihak ayah. 

            Dalihan Na Tolu tidak mirip dengan konsep kasta dalam agama Hindu. Perbedaannya terdapat pada ketetapan setiap posisi dalam sistem ini. Posisi masing-masing kasta dalam sistem kasta Hindu tidak dapat berubah. Sebagai contoh, jika seseorang lahir dalam posisi kasta Brahmana, maka demikian posisi seterusnya hingga dia meninggal kelak. Kasta Brahmana tersebut tidak dapat berubah menjadi Sudra misalnya.

        Sementara itu, posisi Dalihan Na tolu sangat bergantung pada konteksnya (berubah-ubah). Semua anggota masyarakat Batak Toba suatu ketika pasti akan mengalami menjadi Hulahula, Dongan Tubu, atau Boru. Sebagai contoh, salah satu anggota keluarga dari istri seorang bupati bisa jadi hanya menjabat sebagai camat, namun dalam sebuah upacara adat, si bupati tersebut harus mau mencuci piring untuk melayani keluarga istrinya karena keluarga istri masuk dalam kelompok atas (Hula-hula) dan si bupati masuk dalam posisi bawah (boru).

           Semua orang Batak harus berperilaku seakan-akan sebagai “ Raja ” berdasarkan falsafah kekerabatan di atas. Artinya, dalam struktur tata kekerabatan Batak Toba  orang harus berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak, bukan raja sebagai orang yang berkuasa. Maka dari itu, dalam setiap pembicaraan adat, sering terdengar sebutan Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu, atau Raja ni Boru. Selain itu, penyebutan ini dimaksudkan untuk menghormati setiap posisi dalam Dalihan Na Tolu (semua orang Batak Toba dianggap sederajat).


D.Mata Pencaharian
   Ilustrasi  Pedagang  Di  Pasar

           Sebagian besar masyarakat Batak Toba saat ini bermata pencaharian sebagai petani, pedang, nelayan, pegawai, wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah ke bidang usaha jasa. Masyarakat tradisional Batak Toba bercocok tanam padi di sawah dan juga mengolah ladang secara berpindah-pindah.

Pengelolaan tanaman padi di sawah banyak terdapat di daerah selatan Danau Toba.Hal ini disebabkan oleh daerah tersebut adalah dataran yang landai dan terbuka sehingga memungkinkan untuk bercocok tanam padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah utara (Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup serta berupa dataran tinggi yang sejik sehingga mengakibatkan lahan ini lebih memungkinkan untuk pengolahan ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai peghasil sayuran dan buah yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif yang dihasilkan oleh keberadaan bentuk lahan tersebut.

         Sebelum teknologi pengolahan pangan mencapai daerah tano Batak, hasil pengolahan tanaman padi di sawah hanya dapat menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini disebabkan oleh pengolahan tanah yang tidak begitu baik, irigasi yang terbatas dan juga tanpa penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya dengan hasil pengolahan tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan panen satu hingga dua kali saja lalu kemudaian lahan tidak dapat digunakan lagi. Kemudian ladang tersebut akan ditinggalkan dan berpindah ke ladang yang baru. Ada pula beberapa komoditi unggulan yang menjadi kelebihan suatu daerah. Seperti hasil panen  utama dari daerah Simalungun dan Mandailing adalah  jagung dan  ubi kayu, serta beragam sayuran. Dari daerah Pakpak yang menjadi komoditi unggulannya adalah kemenyan dan kapur barus. Bayangkan betapa kayanya tano Batak ini.Saat ini masyarakat Batak sudah banyak yang mengolah padi hibrida di sawah mereka, tentunya orang Batak tidak mau ketinggalan dari yang  lainnya.


E.Peralatan Hidup

  Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang).Peralatan hidup lainnya yaitu kain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.


F. Kesenian


Orang Batak dikenal dengan sebagai masyarakat pecinta seni dan musik. Hampir semua sub suku memiliki jenis kesenian yang unik dan berbeda dari sub suku lainnya. Kesenian orang Batak Toba sendiri cukup beragam mulai dari tarian, alat musik dan jenis-jenis nyanian.                                                                                                                  
         Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah  Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.

Beberapa jenis ulos yang dikenal dalam adat Batak adalah sebagai berikut:

Ulos Ragidup

Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan. Dinamakan demikian karena warna, lukisan serta coraknya memberi kesan seolah-olah ulos ini benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah yang tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap rumah tangga suku batak di daerah-daerah yang masih kental adat bataknya. Karena dalam upacara adat perkawinan, ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki.

Ulos Ragihotang

Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi, namun cara pembuatannya tidak serumit ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai untuk mengafani jenazah atau untuk membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan kedua kalinya.

Ulos Sibolang

Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam mabolang-bolangi (menghormati) orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki pada upacara pernikahan adat batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos Bela yang berarti ulos menantu kepada pengantin laki-laki.


Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:

Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos jenis kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai sehari-hari.

Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima.
          Biasanya ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara dililithon; dililitkan dikepala atau di pinggang.Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.
G.Religi

Kepercayaan Lokal

    Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan dan Islam, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolonyang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:

Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

      Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.

Agama Islam

Masuknya Islam

        Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir.Masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola.


Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur

Agama Kristen

      Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman.Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak.Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri. 
Pada tahun 1850,
 Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.

     Misionaris pertama asal
 Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen.Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak. 
Selanjutnya
 Misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934.
Masyarakat Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme
 Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka,Sisingamangaraja XII wafat. 

Gereja HKBP

    Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan. 

Gereja Katolik di Tanah Batak

    Misi Katolik masuk ke Tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selama 73 tahun. Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang 450.000 orang. Lembaga pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah mempunyai kader-kader yang tangguh baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah Misi Katolik masuk ke Tanah Batak.





BAB III

Kesimpulan

         Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak TobaBatak KaroBatak PakpakBatak SimalungunBatak Angkola, dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan,Kristen Katolik, dan Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaananimisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Saran dan Kritik

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

kami selaku penyusun makalah ini sadar makalah yang telah kamiselesaikan ini masih banyak kekurangan. Jadi, kami mohon kepada Bapak guru untuk memberikan saran dan kritik yang membangun guna menjadikanmakalah kami ini menjadi lebih baik




Daftar pustaka

Referensi Utama :

·          Mulyadi,Yad.Departement Pendidikan dan Kebudayaan.(1999).Antropologi untuk sekolah menengah umum kelas 3 program ilmu pengetahuan sosial.


Referensi Tambahan :
·         http://www.samosir.info

·         http: // ragambudayanusantara.blogspot.com

·         1997 Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES Koentjaraningrat

·         1971 Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan Melalatoa, M. Junus

·         1997 Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta


1 komentar:

 
Kunci Dunia Kecilku Blogger Template by Ipietoon Blogger Template